Tata Pelaksanaan HIV di Depkes, Kementrian Kesehatan Indonesia

Tata Pelaksanaan HIV
Tata Pelaksanaan HIV

Tata pelaksanaan HIV yaitu dengan pemberian obat antiretroviral (ARV). Tujuan dari penggunaan ARV adalah untuk mencegah efek buruk dan kematian yang dapat terjadi akibat infeksi HIV.

Dengan memberikan terapi ARV, kadar viral load dapat ditekan hingga tidak terdeteksi (virus tersupresi). Hal ini dapat meningkatkan fungsi sistem imun dan kualitas hidup secara keseluruhan, serta menurunkan risiko terjadinya komplikasi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) maupun non-AIDS, dan memperpanjang kesintasan pasien. Di samping itu, terapi ARV juga dapat mengurangi risiko penularan HIV.

Jika Anda masih kebingungan tentang tata pelaksanaan HIV, berikut adalah penjelasan lengkap dan detail tentang tata pelaksanaan.

Tata Pelaksanaan HIV Depkes

Ada 4 tata pelaksanaan HIV yang ada di depkes, yaitu tes diagnosis HIV, diagnosis infeksi HIV pada anak dibawah 18 bulan, diagnosis HIV pada anak diatas 18 bulan, dan tes ulang pada periode jendela HIV. Untuk penjelasan lebih lanjut simak dibawah ini

1. Tes Diagnosis HIV

Untuk mendiagnosis HIV, terdapat dua metode pemeriksaan yang digunakan yaitu metode pemeriksaan serologis dan virologis.

1. Metode pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dapat mendeteksi keberadaan antibodi dan antigen. Dua metode pemeriksaan serologis yang sering digunakan yaitu rapid immunochromatography test (tes cepat) dan EIA (enzyme immunoassay).

Pemeriksaan tes cepat dan EIA memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendeteksi keberadaan antibodi (generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat). Di Indonesia sendiri, metode western blot tidak lagi digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV.

2. Metode pemeriksaan virologis

Untuk mendiagnosis HIV, pemeriksaan virologis dapat dilakukan melalui pemeriksaan DNA dan RNA HIV. Di Indonesia, pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif lebih banyak digunakan untuk mendiagnosis HIV pada bayi.

Namun, jika sarana pemeriksaan DNA HIV tidak tersedia di suatu daerah, maka dapat menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering (dried blood spot [DBS]).

Pemeriksaan virologis ini berguna untuk mendiagnosis HIV pada:

  • Bayi berusia dibawah 18 bulan
  • Infeksi HIV primer
  • Kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS
  • Konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:

  • Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan hasil reaktif.
  • Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV.

Strategi pemeriksaan yang digunakan diasumsikan memiliki sensitivitas minimal 99% (batas bawah IK 95%) dan spesifisitas minimal 98% (batas bawah IK 95%), sehingga menghasilkan nilai duga positif sebesar 99% atau lebih.

Strategi ini harus digunakan di laboratorium atau komunitas untuk mendapatkan hasil tes serologis yang konsisten. Semua orang yang terlibat dalam tes harus mengikuti strategi ini, termasuk pengambilan sampel, prosedur tes, dan pelaporan status HIV. Tes cepat atau kombinasi tes cepat dan EIA dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada kombinasi EIA / western blot.

2. Diagnosis Infeksi HIV pada Anak Berusia di Bawah 18 Bulan

Diagnosis Infeksi HIV pada Anak Berusia di Bawah 18 Bulan
Diagnosis Infeksi HIV pada Anak Berusia di Bawah 18 Bulan

Kematian tertinggi pada bayi yang terinfeksi HIV terjadi pada usia pertama. Oleh karena itu, diagnosis dini sangat penting untuk mencegah kematian tersebut. Diagnosis infeksi HIV pada anak berusia di bawah 18 bulan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan tes virologis. 

Tes serologis tidak bisa digunakan karena bayi dapat menerima antibodi HIV dari ibu mereka. Tes PCR RNA HIV memiliki spesifisitas yang baik pada usia 1, 3, dan 6 bulan. Sedangkan, tes PCR DNA HIV memiliki spesifisitas yang baik saat lahir dan pada usia 1, 3, dan 6 bulan.

Penentuan waktu pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi bergantung pada beberapa faktor, termasuk estimasi waktu infeksi terjadi, sensitivitas dan spesifisitas tes yang digunakan, risiko kematian, dan tata laksana. 

baca juga Cara Pemeriksaan HIV Jenis Tes dan Tempat Tes HIV

World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemeriksaan uji virologis pertama dilakukan pada usia 4-6 minggu dan bayi dengan risiko tinggi harus mendapatkan tes tambahan pada saat lahir dan usia 4 bulan jika hasil tes pertama negatif.

Pemeriksaan PCR DNA dan RNA untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang dilakukan segera setelah lahir memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang kurang optimal. Oleh karena itu, pemeriksaan virologis pada usia 1-2 bulan direkomendasikan untuk memaksimalkan deteksi infeksi HIV pada bayi. 

Namun, jika tidak ada akses ke pemeriksaan virologis, diagnosis presumtif infeksi HIV dapat dilakukan pada anak berusia di bawah 18 bulan jika ada kelainan terkait HIV dan hasil serologis HIV yang positif. Kriteria diagnosis presumtif ini memiliki akurasi optimal pada usia 9-12 bulan dan harus segera dikonfirmasi dengan uji virologis atau uji serologis setelah anak berusia lebih dari 18 bulan.

3. Diagnosis HIV pada Anak di Atas 18 Bulan, Remaja dan Dewasa

Diagnosis HIV pada Anak di Atas 18 Bulan, Remaja dan Dewasa
Diagnosis HIV pada Anak di Atas 18 Bulan, Remaja dan Dewasa

Untuk mendiagnosis HIV pada anak, remaja dan orang dewasa di atas 18 bulan, ada tiga jenis tes antibodi yang digunakan. Hasil tes dapat reaktif (positif), non-reaktif (negatif), atau tidak dapat ditentukan (inkonklusif). 

Jika hasil tes awal reaktif, perlu dilakukan tes tambahan untuk konfirmasi diagnosis HIV. Namun, pada beberapa daerah, hanya dilakukan tes sekali saja dan hasil yang belum terkonfirmasi harus segera diuji kembali dan dihubungi oleh penyedia layanan tes. Pasien harus segera dirujuk ke tempat di mana diagnosis HIV dapat ditentukan.

4. Tes Ulang pada Periode Jendela

Setelah melakukan tes HIV, pasien dengan hasil negatif sebaiknya melakukan tes ulang untuk memastikan tidak terinfeksi dalam periode jendela. Namun, tes ulang hanya diperlukan untuk orang yang baru saja berisiko terpapar atau berisiko tinggi.

Orang dengan risiko tinggi sebaiknya melakukan tes ulang setiap tahun. Tes ulang memberikan kesempatan untuk mendapatkan diagnosis dini dan edukasi tentang pencegahan HIV. Di daerah dengan prevalensi tinggi, tes ulang HIV pada ibu hamil dapat dilakukan pada kehamilan lanjut, persalinan, atau sesegera mungkin setelah persalinan.

baca juga Periode Jendela HIV Pengertian & Kapan Cara Menghitung

Kesimpulan

Dalam menghadapi HIV, langkah-langkah pencegahan terbaik adalah menghindari perilaku berisiko tinggi seperti hubungan seksual tanpa kondom, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan penerimaan transfusi darah yang tidak aman. 

Selain itu, penting untuk mengetahui status HIV Anda dengan melakukan tes secara teratur, terutama jika Anda melakukan perilaku berisiko. Jika Anda masih bingung tentang cara tes HIV atau memiliki pertanyaan lain tentang HIV/AIDS, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis yang berpengalaman di bidang tersebut. 

Anda juga dapat menghubungi Autoimuncare untuk mendapatkan konsultasi gratis dan informasi lebih lanjut tentang HIV dan masalah kesehatan lainnya. Jangan biarkan ketidaktahuan atau ketakutan menghambat Anda untuk mengambil tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan Anda dan orang-orang di sekitar Anda.

baca juga kumpulan artikel tentang HIV

Pedoman Nasional Pelayanan Dokter Tata Laksana HIV dari Kemenkes

Penatalaksanaan HIV dari Alomedika